Selasa, 22 April 2008

quo vadis mahasiswa-aparat

Oleh Aceng Furqon



Berita bentrok mahasiswa Universitas Haluoleo (Unhalu) dengan PNS Kota Kendari beberapa waktu lalu sebagai buntut dari sweeping dan pengrusakan kampus Unhalu Kendari oleh aparat kepolisian setempat, lagi-lagi mengundang keprihatinan kita. Sebagai kelompok intelektual, tak semestinya mahasiswa melakukan pengrusakan yang begitu brutal apapun alasan yang melatarbelakanginya.

Seperti dilaporkan beberapa surat kabar cetak maupun elektronik, terdapat beberapa unit sepeda motor milik pegawai negeri sipil Kota Kendari dan satu unit mobil yang rusak dibakar massa mahasiswa, belum lagi kerusakan gedung Walikota Kendari yang rusak cukup parah akibat lemparan batu dari mahasiswa.

Tindakan brutal dari kelompok mahasiswa tersebut pada kenyataannya bertolak belakang dengan semangat intelektual ilmiah yang seharusnya dikedepankan oleh mahasiswa. Seringkali, kita mengutuk tindakan premanisme dari aparat keamanan, pamong praja, dan aparatur pemerintah lainnya, akan tetapi apabila tindakan premanisme itu dipraktikkan juga oleh kita, lantas apa bedanya kita dengan mereka? Meskipun aparatur pemerintah mempraktikkan tindakan premanisme kepada kita, hal tersebut bukan berarti kita juga boleh membalas dengan mempraktikkan tindakan premanisme yang sama seperti mereka.

Mahasiswa adalah kelompok intelektual yang seharusnya bekerja dengan kepala, logika, dan retorika, bukan dengan fisik yang selama ini seringkali dipraktikkan aparat keamanan. Mahasiswa bukanlah komunal robotik yang bekerja atas dasar perintah tanpa mempertimbangkan etika dan nalarnya. Mahasiswa adalah komunal intelektual organik yang bergerak dan bekerja atas dasar pertimbangan intelektual yang kita miliki. Dalam bertindak, kita harus mempertimbangkan keefektifan dan etika, dan bukan semata-mata bertindak atas dasar emosional kita semata.

Kerusahan yang terjadi di Kendari memang bukan semata-mata kesalahan mahasiswa. Aparatur pemerintahan dan aparat keamanan juga seharusnya introspeksi diri terhadap tindakan yang sudah dilakukannya. Sudahkah mereka mengedepankan pendekatan humanis dialogis dalam menghadapi mahasiswa atau malah sebaliknya malah menggunakan jalan premanisme? Seringkali memang ada oknum aparatur pemerintahan dan aparat keamanan yang menggunakan jalan kekerasan dalam menghadapi mahasiswa. Bila ada aksi demonstrasi mahasiswa, tak jarang ada oknum aparat keamanan yang tidak mampu menahan diri dalam menghadapi mahasiswa, sehingga seringkali mahasiswa dipukuli, dianiaya, dan diintimidasi.

Pihak lain yang harus introspeksi diri tentunya adalah para pejabat, baik pejabat daerah maupun pusat. Dalam mengeluarkan kebijakannya, tak jarang pejabat kita tidak memperhatikan pihak lain yang mungkin dirugikan oleh kebijakan tersebut. Para pejabat hanya ingin tahu beres, tak peduli ada berapa banyak rakyat yang mungkin dirugikan dari kebijakannnya tersebut. Ambisi yang dimiliki pejabat pemerintah seringkali menutup mata terhadap nasib rakyat kecil. Misalnya saja untuk mendapatkan Piala Adipura, pejabat daerah tak sungkan mengusir para PKL dengan tidak manusiawi. Begitu juga ketika ada projek pembangunan yang dibekengi kepentingan pengusaha besar, para pejabat seringkali berpihak pada mereka dari pada kepada rakyatnya. Misalnya untuk pembangunan mal megah, tak jarang rakyat kecil seperti pedagang tradisional dirugikan. Tapi para pejabat jarang sekali memperhatikan mereka. Kebijakan diskriminatif seerti itu wajar bila mengundang keprihatinan mahasiswa yang direpresentasikannya melalui aksi. Akan tetapi, lagi-lagi para pejabat seringkali kurang peka dengan aspirasi tersebut, sehingga banyak aksi mahasiswa yang dikebiri.

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kerusuhan serupa akibat kebijakan pejabat seperti yang terjadi di Kendari, para pejabat harusnya bersikap bijaksana dalam mengeluarkan dan menjalankan kebijakannya. Kedepankan kepentingan rakyat kecil dan bukan ambisi pribadi atau kepentingan pengusaha. ***

Oleh Aceng Furqon



Berita bentrok mahasiswa Universitas Haluoleo (Unhalu) dengan PNS Kota Kendari beberapa waktu lalu sebagai buntut dari sweeping dan pengrusakan kampus Unhalu Kendari oleh aparat kepolisian setempat, lagi-lagi mengundang keprihatinan kita. Sebagai kelompok intelektual, tak semestinya mahasiswa melakukan pengrusakan yang begitu brutal apapun alasan yang melatarbelakanginya.

Seperti dilaporkan beberapa surat kabar cetak maupun elektronik, terdapat beberapa unit sepeda motor milik pegawai negeri sipil Kota Kendari dan satu unit mobil yang rusak dibakar massa mahasiswa, belum lagi kerusakan gedung Walikota Kendari yang rusak cukup parah akibat lemparan batu dari mahasiswa.

Tindakan brutal dari kelompok mahasiswa tersebut pada kenyataannya bertolak belakang dengan semangat intelektual ilmiah yang seharusnya dikedepankan oleh mahasiswa. Seringkali, kita mengutuk tindakan premanisme dari aparat keamanan, pamong praja, dan aparatur pemerintah lainnya, akan tetapi apabila tindakan premanisme itu dipraktikkan juga oleh kita, lantas apa bedanya kita dengan mereka? Meskipun aparatur pemerintah mempraktikkan tindakan premanisme kepada kita, hal tersebut bukan berarti kita juga boleh membalas dengan mempraktikkan tindakan premanisme yang sama seperti mereka.

Mahasiswa adalah kelompok intelektual yang seharusnya bekerja dengan kepala, logika, dan retorika, bukan dengan fisik yang selama ini seringkali dipraktikkan aparat keamanan. Mahasiswa bukanlah komunal robotik yang bekerja atas dasar perintah tanpa mempertimbangkan etika dan nalarnya. Mahasiswa adalah komunal intelektual organik yang bergerak dan bekerja atas dasar pertimbangan intelektual yang kita miliki. Dalam bertindak, kita harus mempertimbangkan keefektifan dan etika, dan bukan semata-mata bertindak atas dasar emosional kita semata.

Kerusahan yang terjadi di Kendari memang bukan semata-mata kesalahan mahasiswa. Aparatur pemerintahan dan aparat keamanan juga seharusnya introspeksi diri terhadap tindakan yang sudah dilakukannya. Sudahkah mereka mengedepankan pendekatan humanis dialogis dalam menghadapi mahasiswa atau malah sebaliknya malah menggunakan jalan premanisme? Seringkali memang ada oknum aparatur pemerintahan dan aparat keamanan yang menggunakan jalan kekerasan dalam menghadapi mahasiswa. Bila ada aksi demonstrasi mahasiswa, tak jarang ada oknum aparat keamanan yang tidak mampu menahan diri dalam menghadapi mahasiswa, sehingga seringkali mahasiswa dipukuli, dianiaya, dan diintimidasi.

Pihak lain yang harus introspeksi diri tentunya adalah para pejabat, baik pejabat daerah maupun pusat. Dalam mengeluarkan kebijakannya, tak jarang pejabat kita tidak memperhatikan pihak lain yang mungkin dirugikan oleh kebijakan tersebut. Para pejabat hanya ingin tahu beres, tak peduli ada berapa banyak rakyat yang mungkin dirugikan dari kebijakannnya tersebut. Ambisi yang dimiliki pejabat pemerintah seringkali menutup mata terhadap nasib rakyat kecil. Misalnya saja untuk mendapatkan Piala Adipura, pejabat daerah tak sungkan mengusir para PKL dengan tidak manusiawi. Begitu juga ketika ada projek pembangunan yang dibekengi kepentingan pengusaha besar, para pejabat seringkali berpihak pada mereka dari pada kepada rakyatnya. Misalnya untuk pembangunan mal megah, tak jarang rakyat kecil seperti pedagang tradisional dirugikan. Tapi para pejabat jarang sekali memperhatikan mereka. Kebijakan diskriminatif seerti itu wajar bila mengundang keprihatinan mahasiswa yang direpresentasikannya melalui aksi. Akan tetapi, lagi-lagi para pejabat seringkali kurang peka dengan aspirasi tersebut, sehingga banyak aksi mahasiswa yang dikebiri.

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya kerusuhan serupa akibat kebijakan pejabat seperti yang terjadi di Kendari, para pejabat harusnya bersikap bijaksana dalam mengeluarkan dan menjalankan kebijakannya. Kedepankan kepentingan rakyat kecil dan bukan ambisi pribadi atau kepentingan pengusaha. ***

Tidak ada komentar: